SENJA YANG LAYU
Matahari di ufuk barat
mulai menampakkan semburat warna jingga. Langit lembayung menambah keindahan
sore ini. Ditambah awan putih yang bergerak perlahan ditiup angin membuatku
semakin berdecak kagum dengan hasil kreasi-Nya. Kuarahkan lensa kameraku dan
jepret... kameraku sukses mengabadikan momen paling indah itu. Puas
mengabadikan senja, kuarahkan Canon EOS 550-ku ke arah seorang anak kecil yang
sedang mencari rumput, umurnya sekitar 10 tahun. Bukan pemandangan yang indah
memang, tapi perpaduan antara senja, rumput, sabit di tangan dan senyum di
bibirnya membuat semuanya berkombinasi menjadi pemandangan yang indah buatku.
“Sendirian?” tanyaku
padanya. Dia menoleh sekilas lalu mengangguk. Pertanyaan retoris sebenarnya
tapi untuk berbasa-basi terkadang pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang dibutuhkan.
Kuselonjorkan kakiku,
tanpa terasa sudah berjam-jam aku di sini untuk mencari objek. Kulihat-lihat
lagi hasil perburuanku sore ini. Aku paling terpesona dengan senja dan anak kecil
itu. Anak kecil itu menggambarkan orang yang mau bekerja keras.
“Boleh ikut lihat, Kak?”
Anak kecil itu tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Aku tersenyum lalu
mengangguk.
“Yang ini bagus, Kak!”
serunya ketika melihat hasil jepretan senjaku.
“Iya, Kakak juga setuju
kalau yang ini bagus. Ada yang lebih bagus lagi.” Aku menunjukkan fotonya yang
sedang mencari rumput.
“Fotokuuuuuu.....!” Dia
berteriak senang. Aku tertawa melihat kepolosannya.
Tak terasa adzan maghrib
mulai berkumandang, aku memasukkan kameraku dalam tas dan berdiri. Kutepuk-tepuk
celana jeansku yang kotor oleh tanah. Sementara anak itu mengangkat karungnya yang
sudah penuh dengan rumput, terbayang olehku ternak-ternaknya yang telah menanti
rumput yang banyak dan segar itu.
“Rumahmu dimana?” tanyaku
sambil menstarter motor matikku.
“Di sana Kak.” Ia menunjuk
ke arah barat, kebetulan juga aku akan ke arah sana.
“Kakak antar yuk!” Ajakku
sedikit memaksa. Kutepuk-tepuk jok belakang motorku agar ia segera naik. Dia
terlihat ragu tapi lalu mengangguk. Tak lama kami sampai di depan rumahnya.
“Makasih ya, Kak.” Ia
menurunkan karungnya dengan mudah padahal karung itu lumayan berat untuk anak
seusianya.
“Sama-sama Dimas.” Dimas,
anak kecil yang kutahu namanya ketika kuantar pulang tadi melambaikan tangan
seraya tersenyum lebar.
= = =
Jepret... Sekali lagi
Dimas menjadi objek fotoku sore ini. Matahari masih terlihat gagah dengan sinar
orangenya. Syukurlah sore ini cuaca amat bersahabat setelah 3 hari
berturut-turut langit tampak muram disertai hujan.
“Kak Raraaaaa....” Dimas
melambaikan tangannya padaku. Ia memakai kaos putih yang tampak pudar dan
celana olahraga yang bertuliskan nama sekolah dasar. Sebuah topi merah menempel
di kepalanya.
“Kenapa tak mencari
rumput?” tanyaku ketika kulihat Dimas memegangi tali kekang seekor kambingnya.
“Bapak yang nyuruh, Kak.”
Kubidikkan kameraku pada
kambing-kambingnya. Ada 3 kambing yang dibawa Dimas, 2 sudah lumayan besar
sedangkan yang 1 masih anakan. Mereka terlihat menikmati santap sorenya di
sawah yang sudah hampir menjadi tanah lapang yang penuh rumput hijau ini.
Kuhabiskan sore itu
menemani Dimas menggembalakan kambing-kambingnya. Ia bercerita kalau sebenarnya
kambing-kambing itu bukanlah miliknya, ia hanya merawatnya kemudian hasil yang
didapat dari penjualannya dibagi dua dengan empunya kambing. Ia juga bercerita
tentang sekolahnya, tentang temannya yang kaya tapi murah hati, tentang gurunya
yang sabar, sampai ayahnya yang bekerja sebagai tukang kebun di perumahan elite
sebelah desanya.
Senja kembali datang, tak
kulewatkan momen ini. Kuabadikan berkali-kali lalu kutunjukkan hasilnya pada
Dimas, dia tersenyum senang. Dia bahkan minta difoto dengan berlatar belakang
senja, tak lupa ia bergaya. Aku tertawa melihat gayanya yang polos khas anak
kecil dengan kedua tangan bertengger di pinggang. Aku berjanji akan mencetak
hasil foto itu dan memberikan padanya besok.
“Besok kalau sudah besar
dan punya uang sendiri aku juga mau beli kamera kayak punya Kak Rara,”
ceplosnya ketika kami berdua berjalan pulang. Motorku sengaja kutitipkan di
parkiran masjid dekat sawah tadi supaya aku juga bisa berjalan kaki menemani
Dimas pulang.
“Iya, dan nantinya kamu
akan menjadi fotografer yang hebat,” tambahku menyemangatinya. Sesekali langkah
kami terhenti karena kambing-kambing Dimas mampir untuk mencicipi rumput yang tumbuh
di pinggir jalan.
“Sampai ke luar negeri ya
Kak?” Aku mengangguk mantap. “Bisa ketemu Christiano Ronaldo ya?” Ia
menyebutkan salah satu pemain bola favoritnya.
“Nanti kamu yang akan
memfoto Ronaldo saat ia mencetak gol.” Aku mengelus-elus kepalanya dengan sayang.
Entah kenapa walaupun baru seminggu kenal tapi aku merasa amat sayang dengan
anak ini, mungkin karena aku anak bungsu yang tidak punya adik.
Sebuah mobil polisi
terparkir di depan rumah Dimas ketika kami sampai di sana. Dimas hanya
memandangku dengan sorot mata kebingungan kemudian ia berlari menuju rumahnya.
Firasatku mengatakan ada hal buruk yang terjadi, tapi aku berusaha
menyangkalnya seiring dengan langkah kakiku menuju rumah yang sederhana itu.
Tak kulanjutkan langkahku
ketika kulihat 2 orang polisi membawa Ayah Dimas menuju mobil tahanan dengan
kedua tangan diborgol. Disusul kemudian dengan tangisan Dimas yang menyayat
hatiku, tak kuasa kulihat pemandangan itu.
“Ada apa ini, Pak?” tanyaku pada salah seorang
polisi yang membawa Ayah Dimas.
“Bapak ini terbukti
mencuri uang milik Pak Togar, orang yang selama ini mempekerjakannya,” jelas
Pak Polisi itu. “Dan jumlahnya tidak sedikit,” tambahnya. Aku menelan ludah
yang terasa pahit di kerongkonganku.
“Pak....” Aku menatap Ayah
Dimas menunggu kata-kata dari mulutnya.
Ayah Dimas hanya
menggeleng pelan, ia tertunduk lesu. “Bapak terpaksa, Nak Rara,” katanya pelan.
“Bapak hanya ingin Rangga dan Dimas tetap sekolah.” Ia menyebutkan nama kedua
anaknya. Mata Ayah Dimas berkaca-kaca, kulihat kesungguhan di sana.
Aku tahu Dimas masih SD
sedangkan Rangga harus melanjutkan ke bangku SMA, biaya yang tidak sedikit
kurasa. Aku terenyuh mendengar pengakuannya. Betapa selama ini aku tidak pernah
bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan padaku yaitu orang tua yang masih
mampu membiayai pendidikanku sampai sekarang.
= = =
Dimas termenung memandangi
kambing-kambingnya sore ini. Kulihat lagi selembar foto di tangan kananku. Foto
yang kuambil beberapa senja yang lalu disini. Hanya saja dalam foto itu
terlihat anak kecil yang begitu gembira, berbeda sekali dengan yang ada di
hadapanku sekarang. Sejak ayahnya dipenjara Dimas lebih sering melamun, tawa
polosnya tak kudengar lagi. Senja sore ini layu, selayu bunga rumput yang
tumbuh di antara kedua kakiku.
Nb : cerpen ini pernah dimuat di surat
kabar mingguan Minggu Pagi Kedaulatan Rakyat, minggu III September 2011. :)