Author: Opi Anggoro
•12:10:00 AM
malam yang pekat...
gelap...
tak sempat terucap
bahkan untuk sesaat
apakah harus dengan isyarat?
sehingga membuatnya lebih kasat
bukan,
ini bukan sesuatu yang bersyarat
hanya pekat dan gelap pemberi isyarat
hingga tak ada penat
Author: Opi Anggoro
•2:16:00 PM

SENJA YANG LAYU
Matahari di ufuk barat mulai menampakkan semburat warna jingga. Langit lembayung menambah keindahan sore ini. Ditambah awan putih yang bergerak perlahan ditiup angin membuatku semakin berdecak kagum dengan hasil kreasi-Nya. Kuarahkan lensa kameraku dan jepret... kameraku sukses mengabadikan momen paling indah itu. Puas mengabadikan senja, kuarahkan Canon EOS 550-ku ke arah seorang anak kecil yang sedang mencari rumput, umurnya sekitar 10 tahun. Bukan pemandangan yang indah memang, tapi perpaduan antara senja, rumput, sabit di tangan dan senyum di bibirnya membuat semuanya berkombinasi menjadi pemandangan yang indah buatku.
“Sendirian?” tanyaku padanya. Dia menoleh sekilas lalu mengangguk. Pertanyaan retoris sebenarnya tapi untuk berbasa-basi terkadang pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang dibutuhkan.
Kuselonjorkan kakiku, tanpa terasa sudah berjam-jam aku di sini untuk mencari objek. Kulihat-lihat lagi hasil perburuanku sore ini. Aku paling terpesona dengan senja dan anak kecil itu. Anak kecil itu menggambarkan orang yang mau bekerja keras.
“Boleh ikut lihat, Kak?” Anak kecil itu tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Aku tersenyum lalu mengangguk.
“Yang ini bagus, Kak!” serunya ketika melihat hasil jepretan senjaku.
“Iya, Kakak juga setuju kalau yang ini bagus. Ada yang lebih bagus lagi.” Aku menunjukkan fotonya yang sedang mencari rumput.
“Fotokuuuuuu.....!” Dia berteriak senang. Aku tertawa melihat kepolosannya.
Tak terasa adzan maghrib mulai berkumandang, aku memasukkan kameraku dalam tas dan berdiri. Kutepuk-tepuk celana jeansku yang kotor oleh tanah. Sementara anak itu mengangkat karungnya yang sudah penuh dengan rumput, terbayang olehku ternak-ternaknya yang telah menanti rumput yang banyak dan segar itu.
“Rumahmu dimana?” tanyaku sambil menstarter motor matikku.
“Di sana Kak.” Ia menunjuk ke arah barat, kebetulan juga aku akan ke arah sana.
“Kakak antar yuk!” Ajakku sedikit memaksa. Kutepuk-tepuk jok belakang motorku agar ia segera naik. Dia terlihat ragu tapi lalu mengangguk. Tak lama kami sampai di depan rumahnya.
“Makasih ya, Kak.” Ia menurunkan karungnya dengan mudah padahal karung itu lumayan berat untuk anak seusianya.
“Sama-sama Dimas.” Dimas, anak kecil yang kutahu namanya ketika kuantar pulang tadi melambaikan tangan seraya tersenyum lebar.
= = =
Jepret... Sekali lagi Dimas menjadi objek fotoku sore ini. Matahari masih terlihat gagah dengan sinar orangenya. Syukurlah sore ini cuaca amat bersahabat setelah 3 hari berturut-turut langit tampak muram disertai hujan.
“Kak Raraaaaa....” Dimas melambaikan tangannya padaku. Ia memakai kaos putih yang tampak pudar dan celana olahraga yang bertuliskan nama sekolah dasar. Sebuah topi merah menempel di kepalanya.
“Kenapa tak mencari rumput?” tanyaku ketika kulihat Dimas memegangi tali kekang seekor kambingnya.
“Bapak yang nyuruh, Kak.”
Kubidikkan kameraku pada kambing-kambingnya. Ada 3 kambing yang dibawa Dimas, 2 sudah lumayan besar sedangkan yang 1 masih anakan. Mereka terlihat menikmati santap sorenya di sawah yang sudah hampir menjadi tanah lapang yang penuh rumput hijau ini.
Kuhabiskan sore itu menemani Dimas menggembalakan kambing-kambingnya. Ia bercerita kalau sebenarnya kambing-kambing itu bukanlah miliknya, ia hanya merawatnya kemudian hasil yang didapat dari penjualannya dibagi dua dengan empunya kambing. Ia juga bercerita tentang sekolahnya, tentang temannya yang kaya tapi murah hati, tentang gurunya yang sabar, sampai ayahnya yang bekerja sebagai tukang kebun di perumahan elite sebelah desanya.
Senja kembali datang, tak kulewatkan momen ini. Kuabadikan berkali-kali lalu kutunjukkan hasilnya pada Dimas, dia tersenyum senang. Dia bahkan minta difoto dengan berlatar belakang senja, tak lupa ia bergaya. Aku tertawa melihat gayanya yang polos khas anak kecil dengan kedua tangan bertengger di pinggang. Aku berjanji akan mencetak hasil foto itu dan memberikan padanya besok.
“Besok kalau sudah besar dan punya uang sendiri aku juga mau beli kamera kayak punya Kak Rara,” ceplosnya ketika kami berdua berjalan pulang. Motorku sengaja kutitipkan di parkiran masjid dekat sawah tadi supaya aku juga bisa berjalan kaki menemani Dimas pulang.
“Iya, dan nantinya kamu akan menjadi fotografer yang hebat,” tambahku menyemangatinya. Sesekali langkah kami terhenti karena kambing-kambing Dimas mampir untuk mencicipi rumput yang tumbuh di pinggir jalan.
“Sampai ke luar negeri ya Kak?” Aku mengangguk mantap. “Bisa ketemu Christiano Ronaldo ya?” Ia menyebutkan salah satu pemain bola favoritnya.
“Nanti kamu yang akan memfoto Ronaldo saat ia mencetak gol.” Aku mengelus-elus kepalanya dengan sayang. Entah kenapa walaupun baru seminggu kenal tapi aku merasa amat sayang dengan anak ini, mungkin karena aku anak bungsu yang tidak punya adik.
Sebuah mobil polisi terparkir di depan rumah Dimas ketika kami sampai di sana. Dimas hanya memandangku dengan sorot mata kebingungan kemudian ia berlari menuju rumahnya. Firasatku mengatakan ada hal buruk yang terjadi, tapi aku berusaha menyangkalnya seiring dengan langkah kakiku menuju rumah yang sederhana itu.
Tak kulanjutkan langkahku ketika kulihat 2 orang polisi membawa Ayah Dimas menuju mobil tahanan dengan kedua tangan diborgol. Disusul kemudian dengan tangisan Dimas yang menyayat hatiku, tak kuasa kulihat pemandangan itu.
 “Ada apa ini, Pak?” tanyaku pada salah seorang polisi yang membawa Ayah Dimas.
“Bapak ini terbukti mencuri uang milik Pak Togar, orang yang selama ini mempekerjakannya,” jelas Pak Polisi itu. “Dan jumlahnya tidak sedikit,” tambahnya. Aku menelan ludah yang terasa pahit di kerongkonganku.
“Pak....” Aku menatap Ayah Dimas menunggu kata-kata dari mulutnya.
Ayah Dimas hanya menggeleng pelan, ia tertunduk lesu. “Bapak terpaksa, Nak Rara,” katanya pelan. “Bapak hanya ingin Rangga dan Dimas tetap sekolah.” Ia menyebutkan nama kedua anaknya. Mata Ayah Dimas berkaca-kaca, kulihat kesungguhan di sana.
Aku tahu Dimas masih SD sedangkan Rangga harus melanjutkan ke bangku SMA, biaya yang tidak sedikit kurasa. Aku terenyuh mendengar pengakuannya. Betapa selama ini aku tidak pernah bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan padaku yaitu orang tua yang masih mampu membiayai pendidikanku sampai sekarang.
= = =
Dimas termenung memandangi kambing-kambingnya sore ini. Kulihat lagi selembar foto di tangan kananku. Foto yang kuambil beberapa senja yang lalu disini. Hanya saja dalam foto itu terlihat anak kecil yang begitu gembira, berbeda sekali dengan yang ada di hadapanku sekarang. Sejak ayahnya dipenjara Dimas lebih sering melamun, tawa polosnya tak kudengar lagi. Senja sore ini layu, selayu bunga rumput yang tumbuh di antara kedua kakiku.



 
Nb : cerpen ini pernah dimuat di surat kabar mingguan Minggu Pagi Kedaulatan Rakyat, minggu III September 2011.  :)
Author: Opi Anggoro
•4:44:00 PM
bagiku, sahabat itu seperti kado
seperti apapun wujudnya semua orang pasti akan senang menerimanya
kebanyakan, kado hanya diberikan pada saat ulang tahun atau hari-hari tertentu
tapi... Tuhan begitu baik, amat baik...
Ia memberiku kalian bahkan saat aku tidak berulang tahun...
Tuhan memberiku kalian untuk menemaniku setiap hari, dalam suka dan duka, dalam kegalauan dan dalam kesenangan...
kalian adalah salah satu kado spesial yang Tuhan berikan padaku
aku tak tahu bagaimana aku bisa melewati hariku tanpa kalian, sahabat-sahabatku....
kalianlah yang menguatkan...
kalian pulalah yang 'menamparku' saat aku berbuat kesalahan...
kalian tempat berbagi...
kalian yang memberiku lilin saat aku tersesat di kegelapan...
bersama kita berbagi cahaya dan mencari jalan menuju terang...
mungkin, terkadang aku merasa sendiri... aku terlena dengan dunia dan mimpiku...
maaf...
tapi, tetaplah... duniaku tak akan seindah ini tanpa kalian...
walau terkadang penuh air mata tapi itulah yang memberi warna di lingkaran persahabatan kita.
kenapa aku menggambarkannya lingkaran?
karena lingkaran itu tak bersudut, tak berakhir...
aku berharap, itulah kita...
sahabatku...
aku sadar, hidup ini berat...
dan tak mungkin kita bisa melaluinya sendiri.
tawa kalian, kekonyolan kalian membuat semuanya tak terlihat berat...
terima kasih sahabat-sahabatku....
karena kalianlah aku tahu Tuhan sayang padaku
karena ia memberiku kalian sebagai kado terbaik di hidupku..
Ia begitu pengertiannya karena mempertemukanku dengan kalian di kota ini
kota dimana kupikir aku akan berjuang sendiri untuk menaklukkannya...
dan kuharap, kalian juga berpikir demikian.
kuharap kalian juga bahagia karena dipertemukan denganku.
semoga ini untuk selamanya... :)



with love,


opianggoro. ^.^