Author: Opi Anggoro
•6:31:00 PM
Kapan terakhir kali kita memeluk Ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sunguh-sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang sungguh bangga padanya?

Paragraf di atas adalah sepenggal dari novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Bang Tere Liye.



Ya, novel ini memang bercerita tentang Ayah. Membaca novel ini benar-benar membutuhkan keberanian besar bagiku. Bukan apa, aku hanya tak siap dengan jalan ceritanya mengingat tulisan-tulisan Bang Tere Liye sebelum-sebelumnya sukses membuatku terhanyut. Apalagi novel ini bercerita tentang Ayah, butuh keberanian dan air mata lebih jika membacanya.
Ayah, aku terbiasanya memanggilnya dengan Bapak. Bapak buatku bukanlah sekedar seorang ayah. Beliau adalah penasehatku, hakimku, dan guruku, bahkan terkadang menjadi tempat sampahku. Bapak sering menasehati banyak hal saat kami berbincang-bincang berdua. "Jadilah orang yang berprinsip dan punya tekad" kalimat itu yang selalu kuingat dan menjadi pedoman hidupku sampai saat ini. Kalimat itulah yang beliau ucapkan beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Jogja dulu.
Bapakku selalu sederhana, sederhana yang membuatnya luar biasa. :D

Novel ini... akhirnya aku punya keberanian untuk membacanya. Air mata sudah kupersiapkan saat aku mulai membuka halaman pertamanya. Aku terhanyut, sosok Ayah dan Ibu di novel ini sangat sempurna, keren. Tapi sampai setengah novel kulahap, air mata yang telah kupersiapkan tak jua keluar. Jalan cerita masih bisa kuikuti tanpanya.
Dan akhirnya menjelang bab-bab terakhir novel, banjir air mata melanda. Ceritanya benar-benar menyentuh, baru kali ini aku membaca novel sampai sebegitu banjirnya. Rekor novel yang kubaca banjir air mata adalah Negeri 5 Menara, aku tersentuh dengan semangat di novel itu. Tapi novel ini...Bang Tere Liye benar-benar daebak.
Sampai akhirnya kuputuskan menutup novel ini tanpa membaca endingnya terlebih dahulu. Aku ingat kalimat yang ada di belakang novel ini :

Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Karena kalimat itulah, kuputuskan untuk menunda membaca bagian akhir novel ini. Aku ingin saat membacanya nanti aku sedang berada di samping Bapak, sehingga aku bisa langsung memeluk dan menggenggam tangannya.

Bapakku bukanlah sosok yang sempurna, ia jauh dari kata itu. Ia juga tak pernah mencoba untuk menjadi sempurna. Bapakku apa adanya dengan kesederhanaannya, itulah yang membuatnya menjadi sempurna di mataku.





Teruntukmu ayah paling sempurna di seluruh dunia, Nirgo Yuswanto. :*





With love,


Opi Anggoro (pembangkang nomer satu-mu :p)